Batas Akhir Oleh Maratul Khasanah Penulis adalah mahasiswa Univ. Negeri Malang Sore yang indah. Semburat mega merah mewarnai hamparan langit biru sehingga tampak perpaduan yang membuat hati tenang. Angin dingin berhembus perlahan namun mampu membuat semua orang yang berkunjung di alun-alun kota bunga ini melipatkan kedua tangannya di dada. Suasana yang mempesona ini nampaknya tidak sedang dinikmati oleh Parjo, pemilik perawakan tinggi sedang dengan wajah oval dan senyum menawan. Namun saat ini, senyum itu seolah telah lenyap. Hanya tampak guratan-guratan ketuaan yang datang terlalu cepat dari usia yang sebenarnya. Rambutnya yang biasa tersisir rapi kini mawut karena tak terurus. Telapak kakinya yang biasa bersepatu kini hanya bersandal selop berdebu. Parjo sudah duduk berjam-jam di bangku itu. Salah satu bangku di pojok timur. Sesekali tangannya menggaruk kepala. Dia sedang menyesali runtutan kejadian naas. Parjo mengentakkan kakinya. Dia membuang nafas sembari mengepalkan tangan penuh kekesalan. Giginya yang kuning menggemeretak. "Sialan!" kata Parjo lirih. Utang yang cukup besar telah menghancurkan Parjo dan keluarganya. Gara-gara uangnya dibawa kabur jahanam edan. Tapi siapa yang salah? Mengapa dia percaya saat ditawari Martono untuk melipatgandakan uangnya lewat arisan tersebut? Ealah, cek gobloke to yo…Sampai-sampai dia mempertaruhkan uang sekolah karena dialah yang menjabat sebagai bendahara di SMA Lawak Waru II. Semua kejadian itu berawal saat Martono, tetangganya datang sembari membawa beberapa lembar kertas yang terlipat menjadi empat bagian. Di sana bertuliskan tawaran untuk mengikuti arisan berhadiah mobil dan sepeda motor. Hanya dengan membayar 25 juta rupiah maka orang itu bisa membawa mobil Esusune Panther. Mobil yang hanya akan dipakai orang-orang berduit. Konon, mobil itu sangat mahal. Sungguh tawaran yang menggiurkan. Beberapa hari Parjo memutar otak bagaimana caranya mendapatkan uang sebesar 25 juta tersebut. Akhirnya, dia memutuskan untuk meminjam uang sekolah untuk ikut arisan seperti dikatakan Martono. "Nanti kalau sudah dapat mobil, gampanglah untuk mendapat gantinya," pikir Parjo. Hari demi hari berlalu dan terasa lambat bagi Parjo setelah dia memberikan uang 25 juta yang diambilnya dari kas sekolah pada Martono. Dia menantikan mobil yang dijanjikan Martono sepekan lalu. Rasanya sudah tak sabar lagi untuk mengendarai mobil yang menjadi idaman setiap orang itu. Pasti semua roang akan mengelukannya. Dia akan tampak gagah di belakang setir dan dia akan menggunakan mobil untuk mengajak Martini kencan dan melamarnya. Martini yang selama ini me nolak ajakan makan malam atau nonton bioskop itu kini akan menerima ajakannya. Hati Parjo berdegup kencang membayangkan hal-hal indah yang akan segera dilaluinya. *** Seminggu, dua minggu, tiga minggu, empat minggu, jenuh sudah penantiannya. Parjo harus mencari tahu apa yang terjadi. Martono yang setiap saat selalu mengatakan, "Sabar Jo. Sebentar lagi kamu pasti sudah bisa mengendarai Esusune Panther. Sekarang perusahaan sedang mengurus surat-suratmu." setiap kali Parjo mengemukakan pertanyaan kapan mobil yang dijanjikan bisa didapatkannya. Parjo hanya manggut-manggut dan berusaha menyabarkan hatinya. Tapi, kesabaran orang pasti ada batasnya. Parjo tidak bisa selamanya diam menunggu sedangkan jabatannya kini dipertaruhkan karena sudah memakai uang sekolah. Parjo mencari-cari Martono yang sejak dua minggu lalu menghilang ditelan bumi. Parjo tak peduli. Yang dia pedulikan sekarang adalah bagaimana caranya mendapatkan kembali 25 juta yang dibawa Martono. Kepala Parjo mumet. Capek dan stres pontang-panting mencari Martono. Istri Martono pun tak tahu ke mana suaminya pergi. Menurutnya, Martono meninggalkannya tanpa pesan secuil pun. "Sompret koen No!" umpat Parjo. Kepercayaan sudah luntur oleh lelehan-lelehan kesabarannya saat menantikan janji yang kunjung datang. Parjo sadar dia telah dikhianati. Tapi, bagaimana caranya menemukan pengkhianat busuk itu? Suatu ketika, saat Parjo baca koran sambil ngopi, dia dikejutkan oleh salah satu berita yang ada di harian Nggreget Pos. Di situ, diberitakan tentang para nasabah CV yang mengajukan tuntutan tentang uang mereka yang dijanjikan akan dilipatgandakan dengan mengikuti sebuah arisan. Parjo sadar benar CV Mbujuk inilah yang dikatakan Martono, yang akan memberikannya Esusune Panther. Berarti dia… *** Dari hari ke hari, hanya itulah yang diberitakan koran-koran. Parjo bingung harus ke mana meminta bantuan. Masalahnya, banyak orang yang telah menjadi korban seperti dirinya. Banyak di antara mereka yang mempunyai kerugian lebih besar dari dirinya. Ada yang mencapai 1 miliar karena dia membawa uang orang-orang di sekitarnya. Orang seperti inilah yang disebut pentolannya alias top leader. Akhirnya, apa yang dilakukan Parto pad auang sekolah tercium oleh Kepala Sekolah SMA Lawak Waru. Hal ini terungkap ketika ada inspeksi dari pengawas pusat yang memeriksa pembukuan dan melakukan pengecekan di bank. Menurut keterangan bank, telah terjadi transaksi keluar sebesar 25 juta rupiah. Semua orang tahu bahwa Parjo telah melakukan penggelapan uang. Orang-orang yang dulu dekat dengannya kini menjauh dan mencemoohnya. Apa yang ditakutkan Parjo terjadi sudah. Semua orang menjauh, begitu juga dengan ibu dan adik-adiknya. Mereka merasa malu dengan apa yang telah dilakukan Parjo. Parjo yang selalu dianggap contoh bagi adik-adiknya, kini adalah pengangguran miskin dan membuat mereka kehilangan sawah yang terpaksa dijual untuk menyelamatkan kakaknya dari penjara. *** Parjo masih duduk termenung dan tenggelam dengan segala perasaan yang bergelayut di benaknya. Kini dia sedang memutar otak untuk mencari jalan agar bisa mengembalikan sawah keluarganya. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menyetujui tawaran dari seseorang yang dikenalnya tiga hari lalu di alun-alun tempat dia duduk sekarang. Dikeluarkannya kartu nama yang disimpannya sejak orang dengan perawakan kurus berjaket kulit itu memberikan kepadanya. Parjo telah membulatkan tekadnya. Dia bersiap untuk pulang ke rumah, mandi, berganti pakaian, dan mencari alamat yang diberikan orang itu padanya. Parjo akan berdagang sekarang. Berdagang barang yang berukuran kecil namun bisa membuat orang sangat bahagia. Apalagi orang-orang ketagihan yang menganggap barang tersebut lebih berharga dari nyawa sendiri. Dagangannya ini akan membuatnya cepat kaya. Selesai makan, Parjo naik angkutan dan turun di gang Cabul. Dia menelusuri gang dengan hati-hati. Tampak keadaan sekitar yang kumuh, dengan coretan menghiasi tembok di kanan kiri. Bau pesing sesekali tercium. Tapi dia bertekad untuk menempuh jalan itu, apa pun taruhannya. Parjo terus melangkah sampai akhirnya… "Argh!" Terdengar suara teriakan orang dari arah depan. Parjo mendekat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Parjo akhirnya menemukan asal suara tersebut. Di hadapannya kini terdapat ruangan yang cukup luas. Kejadian di depannya membuatnya terkejut. Laki-laki yang memberikan kartu nama kepadanya roboh di lantai bersimbah darah. Di sekelilingnya penuh laki-laki bermuka seram. Salah satunya membawa senjata tajam yang dipenuhi darah. Belum sempat Parjo berpikir, laki-laki yang membawa pisau berkata pada laki-laki di sekitarnya. Dalam waktu singkat, mereka berubah posisi mengepung Parjo. "Habisi roang ini. Jangan sampai menjadi bukti untuk polisi. Ayo!" Semua laki-laki yang ada gang tersebut langsung mengeroyok Parjo dan menghajar tanpa memberi kesempatan pada Parjo alasannya datang. "Ampun…aku…aku…bukan…aku…ini…salaaah…ampun…tidak…argh!" Kata-kata itu mengakhiri perjalanan hidupnya setelah senjata tajam menghujam perutnya berulang-ulang. Lirih dia berkata, "Nasib…nasib…aku kalah taruhan sak durunge (sebelum, Red) main."